TUGAS KE 4
EFLIN FEBRIANI
12211328
4EA17
ABSTRAK
Eflin Febriani. 4EA17. 12211328
Penulisan, Jurnal, Jurusan Manajemen, Fakultas
Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Moral adalah kaidah
mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label
“bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas
dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Korupsi merupakan suatu istilah yang berasal dari
bahasa latin yaitucorruption yang berarti buruk atau rusak atau
memutar balik atau menyogok. Korupsi yang sudah
lama berjangkit di negeri tercinta ini, yang sudah menjadi penyakit kronis,
berurat dan berakar dalam setiap sendi kehidupan kita, ternyata tidak datang
begitu saja. Ia ada karena sudah mengalami proses belajar yang cukup lama.
Telah banyak lembaga pengawasan yang dibentuk, namun korupsi juga kian
menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan jumlah
korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat membandingkan
semut dengan gajah. Ada dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat
mementingkan diri dan ketamakan. Karena mementingkan diri, orang-orang yang
korup tutup mata terhadap akibat perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang
lain, dan mereka membenarkan korupsi semata-mata karena mereka mendapat manfaat
darinya. Semakin banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah
para koruptor ini.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR
BELAKANG
Moral
adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian
diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan
lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Namun, banyak manusia
yang menjadi tidak bermoral dan melakukan tindak kejahatan karena tuntutan
hidup maupun sifat serakah. Salah satu tindak kejahatan yang kian melambung
namanya dalam beberapa tahun terakhir adalah korupsi. Secara gampang, korupsi
didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan bagi
kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan sendiri.
Korupsi
bukanlah merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena
ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu
ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis
buku berjudul Arthashastra.
Indonesia
adalah salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi bisa dilakukan melalui
berbagai jalur, ada yang melalui pinjaman dari Negara asing, sehingga semakin
besar pinjaman asing semakin besar dana yang disalahgunakan, melalui perjalanan
dinas, melalui pengadaan barang, pungutan pajak, pungutan liar, bahkan sampai
dana untuk orang miskin dan bencana alam. Korupsi benar-benar merupakan
perbuatan yang menghancurkan generasi muda dan memiskinkan rakyat Indonesia.
Kasus
korupsi tampaknya sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia,
terutama yang menduduki posisi pejabat Negara. Sejatinya, mereka mengayomi
serta menjamin kesejahteraan rakyat. Namun, menjamin kesejahteraan diri dan
keluarga tampaknya lebih menarik hai para pejabat sehingga tidak heran jika
pemberitaan kasus korupsi terus menghiasi layar kaca.
Tindak
korupsi yang ada di Indonesia saat ini sudah meluas dalam masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis oleh pejabat Negara.
Korupsi
bisa dikatakan sebagai hal yang tidak terlepaskan dari kehidupan bangsa
Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari “prestasi” bangsa Indonesia dengan
menduduki peringkat-peringkat atas negara terkorup di dunia dalam beberapa
tahun belakangan ini. .
1.2.RUMUSAN
MASALAH
Dalam penyusunan ini
penulis membatasi menjadi beberapa sub pokok bahasan meliputi :
1. Mengapa
semakin marak korupsi yang ada di Indonesia dan mengapa bisa terjadi?
2. Bagaimana
dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis?
3. Siapa
yang bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia?
1.3.BATASAN
MASALAH
Dalam penulisan ini
penulis membatasi masalah pada moralitas korupsi.
1.4.TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk
mengetahui mengapa semakin marak korupsi yang ada di Indonesia dan mengapa bisa
terjadi
2. Untuk
mengetahui Bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis
3. Untuk
mengetahui Siapa yang bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.Pengertian
Moral
Moral
adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian
diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan
lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Semua
orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda
dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda
yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan
manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
Akal
budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang
buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu,
hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali
budi.
Dari
sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan
terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan
hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang
dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain
sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.
2.2.Moralitas
Obyektif
Moralitas
obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan bersama.
Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi
bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
Moralitas
seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan
nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan
yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang
dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya
undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya,
manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran
terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan
hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara
obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
2.3.Moralitas
Subyektif
Moralitas
subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari
manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai
dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini
harus ditaati.
Berbeda
dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa
dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas
subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan
hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih
untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
Secara
sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya
dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari
moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif
(sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu
ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani
manusia!
2.4.Korupsi
Korupsi berdasarkan
pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan
melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau
sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan
keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu
dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
masyarakat.
Korupsi
merupakan suatu istilah yang berasal dari
bahasa latin yaitucorruption yang berarti buruk atau rusak atau
memutar balik atau menyogok. Menurut Transparancy Indonesia korupsi diartikan
sebagai perilaku pejabat publik, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.
Dalam
ensikopledia Indonesia disebut ”korupsi” (dari bahasa latin: corruption yang
berarti penyuapan; corruptore berarti merusak) gejala dimana para pejabat,
badan – badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Menurut
Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan
yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara
diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada
kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan –
tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih
menggunakan kekuasaan itu dengan syah.
Menurut
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara. Dari segi semantik, "korupsi" berasal
dari bahasa Inggris, yaitucorrupt,yang berasal dari perpaduan dua kata dalam
bahasa latin yaitucomyang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti
pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagaisuatu
perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karenaadanya suatu
pemberian.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan
uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi maupun
orang lain.
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau
pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan,
dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Faktor-faktor
penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
·
Penegakan hukum tidak konsisten,
penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu
berubah setiap berganti pemerintahan.
·
Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng,
takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
·
Langkanya lingkungan yang antikorup,
sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
·
Rendahnya pendapatan penyelenggara
Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan
penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi
dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
·
Kemiskinan, keserakahan, masyarakat
kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka
yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
·
Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan
hadiah.
·
Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah
daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum
sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
·
Budaya permisif/serba membolehkan, tidak
mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli orang lain,
asal kepentingannya sendiri terlindungi.
·
Gagalnya pendidikan agama dan
etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi
pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang
memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang
lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya,
sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para
pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang
dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang
sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk
memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan Metode
pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dari
beberapa buku, referensi di internet dan jurnal yang mengkaji topik sejenis
untuk mendukung penulisan tentang moralitas koruptor
BAB IV
PEMBAHASAN
Mengapa semakin marak korupsi yang
ada di Indonesia dan mengapa bisa terjadi?
Indonesia
memang dikenal sebagai juaranya korupsi di dunia. Sudah bertahun-tahun
Indonesia berperingkat terbawah sebagai negara terkorup di dunia dan seakan tak
ada prospek beranjak dari keburukan ini. Terakhir, Transparency International
Indonesia merilis peringkat indeks korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2009
berada pada posisi 111. Ini memang sangat memiriskan. Bangsa yang besar ini
dipandang sangat ‘kotor’ akibat korupsinya yang merajalela. Ibu Pertiwi pasti
menangis jika melihat anak bangsa saat ini sebagai juara korupsi.
Lantas,
banyak orang berpikir bahwa korupsi yang sudah sedemikian parah ini dihubungkan
dengan masalah moral. Akar permasalahan utama korupsi di Indonesia adalah moralitas
bangsa yang bobrok, korup dan ambruk. Benarkah demikian? Pantaslah kita untuk
mendiskusikannya agar kita tidak serta merta memercayaistatement bahwa
parahnya korupsi di Indonesia ini akibat moral bangsa yang buruk. Kita tidak
boleh luruh hanya mengkambinghitamkan masalah moral sebagai penyebab suburnya
korupsi di Indonesia
Sayangnya,
begitu banyak terdengar upaya kampanye sederhana (soft campaigne), baik
pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama tentang seruan
serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai
moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi di Indonesia. Media
yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga
pamflet dan selebaran, yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa,
“jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita,
sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”.
Upaya
tersebut tidaklah salah, tetapi sangat berpotensi keliru memandang persoalan
secara objektif dan komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat
adalah bisa saja upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan
masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai
upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup. Kita perlu
memandang masalah moralitas ini sangat rawan untuk dipermainkan oleh
pihak-pihak yang sebenarnya terlibat dalam korupsi. Bisa saja isu moralitas ini
hanya sebagai upaya lempar batu sembunyi tangan.
Memandang
korupsi sebagai masalah moral ini juga bisa menciptakan ketidakmampuan
menguraikan jenis-jenis korupsi secara detail dan kegagalan menciptakan
solusinya. Ada resistensi yang timbul karena rasa pesimistis berlebihan sebagai
akibat kegagalan menguraikan kerumitan benang-benang korupsi. Ini karena
masalah moral begitu luas dan cara penanganannya juga sangat luas. Jadi, tidak
sekedar menangani penyebab dari satu aspek saja, lalu lantas masalah moral
selesai dan korupsi pun punah.
Lantas,
orang berpikir karena masalah moral maka yang harus dibenahi moral bangsa
adalah lewat pendidikan yang bermoral. Ini jelas terlalu luas dan tidak
langsung mengenai sasaran karena pendidikan lebih condong pada pembentukan
karakter dasar. Dan, seringkali karakter itu takluk pada determinan lingkungan
yang lebih mencerminkan kondisi yang sesuai pada realitas kekinian. Lingkungan
mampu menciptakan pengaruh yang menjadikan orang yang dibentuk pendidikan larut
dalam hegemoni lingkungan.
Menangani
korupsi lewat pendidikan memang perlu, tetapi ini hanya pada proses penciptaan
fundamental saja. Pendidikan yang menciptakan moralitas utama lebih disepakati
sebagai upaya penanaman pondasi moral bahwa korupsi itu adalah tindakan laknat
yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Sekaligus pendidikan moral ada
untuk membangun benteng moral agar tidak terjebol oleh serangan biadab korupsi
implisit maupun eksplisit. Namun demikian, moralitas yang dibentuk pendidikan
tidak bisa digunakan sebagai tameng secara terus menerus untuk menghadang
korupsi.
Masalah Sistem
Kita
pasti hangat dengan ucapan Bang Napi dalam sebuah acara kriminal di salah satu
stasiun televisi bahwa “Kejahatan tidak hanya terjadi karena dari niat
pelakunya, tetapi karena adanya kesempatan”. Kalau diuraikan, dari pernyataan
di atas asal korupsi adalah karena niat dan atau kesempatan. Secara sederhana,
jika beracuan pada niat berarti yang menyebabkan korupsi adalah buruknya
moralitas pelakunya. Sedangkan, jika merujuk pada kesempatan maka yang
menciptakan korupsi adalah lingkungannya.
Untuk
masalah moralitas sudah dijelaskan secara spesifik pada paragraf-paragraf
sebelumnya. Adapun untuk keadaan lingkungan akan diterangkan saat ini dan
seterusnya. Sejatinya, lingkungan memang sangat berkaitan dengan adanya sistem
yang melingkupinya. Jikalau sistem yang ada itu buruk maka akan memungkinkan
mencuat lingkungan yang buruk pula. Begitu pula, sebaliknya. Ada hubungan
searah antara sistem dengan lingkungan.
Ketika
kita mencermati kasus korupsi yang marak akhir-akhir ini, bisa dilihat bahwa
sistem yang ada di birokrasi pemerintahan ‘kebobolan’ telak. Sistem mampu
dikibuli oleh aparat-aparat yang ada di dalamnya maupun pihak-pihak luar yang
ingin ‘mempermainkan’ sistem.
Kalau
kita mendalami masalah sistem ini, praktik korupsi bukan sekedar pada tingkat
pelaksanaan saja. Kita harus melihat dari perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan sistem, sebagaimana kerangka sederhana dari sistem itu sendiri.
Kalau dari perencanaan, kita bisa melihat salah satunya dari peraturan
perundang-undangan. Undang-undang dan peraturan pemerintah apakah bisa menjadi
alat untuk mengembangbiakkan korupsi. Jika iya, berarti dari tahap perencanaan
terhadap sebuah sistem saja sudah menabur benih tumbuhnya pohon korupsi.
Indonesia
bisa terus menjadi juara korupsi, karena sistem-sistem buruk dan lemah yang ada
terus-menerus distatus quo-kan. Reformasi birokrasi memang sudah jalan, tetapi
itu belum masuk ke tataran mindset birokrat. Apa gunanya sistem yang bagus,
tetapi tidak diresapi oleh para obyeknya? Inilah mengapa sistem saat ini tidak
berjalan dengan bagus, baik dari perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
Jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran korupsi yang mematikan, pembenahan
sistem secara komprehensif perlu dilakukan. Dan, sistem itu pun kemudian harus
dijunjung tinggi oleh semua obyeknya sampai ter-mindset-kan.
Bagaimana dampaknya terhadap sebuah
kegiatan bisnis ?
Pengaruh
yang paling dominan adalah persaingan yang tidak sehat , ditambah
kecurangan dengan melakukan korupsi otomatis memberikan dampak pada kegiatan
bisnis yang terhambat bahkan bisa berhenti. Dengan orang melakukan korupsi
berarti dia mengambil sejumlah uang atau asset tertentu yang bahkan bukan milik
dia yang tidak lain mengurangi asset bisnis tersebut. Dengan korupsi yang dilakukan
terus menerus pada kegiatan bisnis ini dalam jangka panjang memerikan ke
bangkrutan.
Akibat – akibat korupsi adalah :
1. Pemborosan
sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya
keahlian, bantuan yang lenyap.
2. Ketidakstabilan,
revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan
ketimpangan sosial budaya.
3. Pengurangan
kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya
kewibawaan administrasi.
Dengan
demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan Negara dan merusak sendi –
sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.
Korupsi..siapa yang bertanggung
jawab?
Korupsi yang sudah lama berjangkit di negeri tercinta
ini, yang sudah menjadi penyakit kronis, berurat dan berakar dalam setiap sendi
kehidupan kita, ternyata tidak datang begitu saja. Ia ada karena sudah
mengalami proses belajar yang cukup lama.
Telah banyak lembaga pengawasan yang dibentuk, namun
korupsi juga kian menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang
ditangkap dan jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali.
Ibarat membandingkan semut dengan gajah.
Lantas, siapa yang harus bertanggungjawab memberantas korupsi?
Percaya atau tidak, korupsi itu adalah hasil belajar
seseorang dan kemudian diajarkannya lagi kepada orang lain. Begitu seterusnya
sehingga korupsi ada dimanamana. Faktor utama perbuatan korupsi adalah manusia.
Kwik Kian Gie pernah mengatakan seluruh upaya pemberantasan korupsi yang dibuat
akan percuma, tidak akan efektif sama sekali jika factor manusianya
dikesampingkan, jika tidak ada program yang berfokus pada perbaikan manusianya
sendiri.
Manusia disamping sebagai makhluk individu adalah juga
makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai cipta, rasa, dan
karsa dan menampilkan diri sebagai pribadi. Sebagai makhluk sosial, manusia
memelihara dan mengembangkan eksistensinya dengan berinteraksi dengan manusia
lainnya dalam bentuk hidup bermasyarakat.
Orang bijak pernah berkata bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan fitrah, suci, putih bersih. Maka lingkungan lah yang akan membentuk
kepribadiannya, menentukan jati dirinya. Apakah dia nantinya akan menjadi orang
baik, yang akan banyak memberi manfaat bagi diri dan lingkungannya, atau
sebaliknya dia akan menjadi orang jahat dan membawa kesengsaraan bagi orang
lain. Semua itu ditentukan oleh pengaruh dari lingkungan dimana dia hidup
bermasyarakat. Salah satu teori penyebab terjadinya suatu tindak kejahatan
adalah " bahwa perilaku kriminal akan timbul manakala manusia menyerap
informasi, pandangan, dan motivasi dari orang-orang dekat disekitarnya"
(sebagaiman dimuat dalam Association
of Certified Fraud Examiners (ACFE) Manual section Criminology, yaitu Social Learning Theory). Para
ahli penganut teori ini percaya bahwa setiap orang berpotensi untuk melakukan
tindak kejahatan jika selalu dihadapkan pada persoalan kriminal.
Jadi, jika seseorang dilahirkan dengan lingkungan yang
permisif terhadap tindakan kriminal akan mendorong dirinya untuk berbuat yang
serupa. Bila manusia dibesarkan dalam lingkungan yang sudah terbiasa dengan
perbuatan yang cenderung menyimpang, yang menganggap memberi uang pelicin agar
urusannya lancar adalah biasa, lingkungan yang berpandangan bahwa menerima
hadiah atau pemberian yang berkaitan dengan tugasnya adalah wajar bahkan suatu
keharusan, lingkungan yang terbiasa me -mark up kuitansi pengeluaran agar bias
diambil selisihnya untuk keuntungannya, maka orang tersebut akan terdorong
untuk melakukan perbuatan menyimpang tersebut.
Demikian juga dengan korupsi. Mungkin pada awalnya hanya
coba -coba, kecil-kecilan. Misalnya, seorang pimpinan proyek yang karena
gajinya kecil, terdesak oleh kebutuhan pokok, dan karena melihat rekan-rekan
sejawatnya yang melakukan itu aman-aman saja, maka dia mencoba berkolusi dengan
kontraktor pemenang tender untuk menggelembungkan nilai kontrak di atas harga
yang wajar untuk dia ambil dan dibagi-bagi selisih harganya tadi. Dia berhasil
pada kali yang pertama dan berniat untuk berhenti korupsi karena kebutuhan
mendesaknya sudah terpenuhi. Namun hal itu tidak dapat dia lakukan karena jika
dia berhenti pada kali yang kedua, maka perbuatan jeleknya terdahulu akan
terbongkar, oleh karenanya dia kemudian mempelajari bagaimana cara agar tidak
ketahuan, bertanya ke kanan-kiri. Demikian seterusnya sampai akhirnya menjadi
kebiasaan dan ketagihan untuk berbuat serupa, bahkan mengembangkan modusnya
agar benar-benar tidak akan pernah terdeteksi.
Dengan cara demikianlah korupsi berkembang di negeri ini.
Awalnya tidak tahu, kemudian tahu karena terjun ke lingkungan yang memberinya
informasi dan pengalaman tentang perbuatan korupsi, sampai akhirnya tergoda
untuk melakukannya. Semua itu melalui proses yang namanya belajar.
Dengan demikian, cara memerangi yang paling efektif pun
harus melalui proses pembelajaran kembali kepada masyarakat, individu, dan
publik. Harus ditanamkan sikap dan pengertian bahwa perbuatan korupsi adalah
perbuatan yang sangat jahat, the
root of all evils, korupsi adalah sumber dari segala permasalahan yang
mencuat dalam segala bidang.
Jika seseorang sudah memahami apalagi merasakan akibat
jelek dari perbuatan korupsi, maka akan timbul kecenderungan berkurangnya
perbuatan korupsi. Disinilah letak pentingnya dijatuhkan hukuman
seberat-beratnya kepada pelaku korupsi.
Contoh Kasus Korupsi :
1.
KPK
Beri Isyarat Ratu Atut Terseret Kasus Korupsi.
Wakil
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas memberi sinyal
terseretnya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam kasus dugaan korupsi.
Meskipun tak menyebut secara gamblang kasus yang dimaksud, tapi menurut Busyro,
Atut bisa jadi merupakan kepala daerah yang bisa diminta pertanggungjawaban.
“Ya,
benar begitu, seperti Tangerang Selatan,” kata Busyro di gedung kantornya,
Senin, 18 November 2013. Sebelum bicara soal Atut, Busyro terlebih dahulu
bicara soal adik ipar Atut yang juga Wali Kota Tangerang Selatan dalam kasus
dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Kota Tangsel.
(Baca: Pelapor Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh)
Menurut
Busyro, saat ini dalam kasus alkes Tangsel, penyelenggara negara yang
ditetapkan sebagai tersangka baru pada tingkat pejabat pembuat komitmen. “Cara
kerja KPK, semua dimulai dari bawah, minggir-minggir-minggir, langsung nabrak
ke atas,” kata Busyro. Busyro memberi contoh, dalam kasus dugaan korupsi PON
Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal bukan orang yang pertama ditetapkan menjadi
tersangka. Dalam kasus travel cheque, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
Miranda Goeltom kena belakangan. “Itu memang karakter kerja KPK. Tunggu saja,
kami sedang mengumpulkan bukti,” kata dia.
Terhitung
11 November 2013, KPK menetapkan tiga orang dalam kasus alkes Tangsel.
Ketiganya adalah pejabat pembuat komitmen Mamak Jamaksari, petinggi PT Mikkindo
Adiguna Pratama Dadang Prijatna, dan Chaeri Wardana alias Wawan, yang merupakan
suami Airin.
2.
Ini
alasan KPK panggil Dirut Pertamina di kasus suap SKK Migas
Wakil
Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan pihaknya memang tengah mendalami peran PT
Pertamina dalam kasus dugaan suap di lingkungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Setelah beberapa waktu lalu KPK
memanggil Direktur Utama Karen G Agustiawan untuk diperiksa sebagai saksi.
“Jadi
memang kami mempelajari keterlibatan Pertamina dalam penjualan, pelelangan,
tender di SKK Migas,” ujar Busyro, di KPK, Senin (18/11) malam.
Menurut
Busyro, nama Karen muncul setelah pemeriksaan sejumlah saksi dan tersangka.
Dalam pengembangannya, Karen baru disebut-sebut belakangan ini dari keterangan
dan pemeriksaan kasus ini.
“Dia
kan muncul dalam perkembangan,” imbuhnya.
Namun,
Busyro belum berani memastikan apakah Karen akan menjadi tersangka berikutnya.
Karena Karen masih baru menjalani pemeriksaan sebagai saksi dan dua kali
dipanggil KPK.
“Karen
ini kan baru diperiksa kemarin,” jelasnya.
Dalam
dakwaan Simon Gunawan Tanjaya terungkap, 28 Mei 2013 PT Pertamina mengikuti
rapat bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas dan SKK Migas. Rapat itu disimpulkan,
Kondensat Senipah bagian negara dengan volume 300 ribu barel tidak dapat diolah
Kilang Pertamina. Sebab, adanya keterbatasan penyerapan kilang atas volume
Kondensat Senipah yang tersedia. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan
pendapatan negara, maka rapat memutuskan dilakukan lelang terhadap Kondensat
Senipah itu. Hal itu dilakukan untuk mendapat penawaran terbaik. Dalam dakwaan
Simon juga terungkap Kernel Oil menyuap buat mendapat jatah Kondensat Senipah.
PT Pertamina juga diketahui pernah bekerja sama dengan PT Parna Raya Group
dalam pengadaan BBM bersubsidi untuk nelayan. Komisaris PT Parna Raya Artha
Meris Simbolon sendiri, saat ini pun telah dicegah KPK.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.KESIMPULAN
Korupsi
bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur
masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang
diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian,
mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.
Ada
dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat mementingkan diri dan ketamakan.
Karena mementingkan diri, orang-orang yang korup tutup mata terhadap akibat
perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang lain, dan mereka membenarkan korupsi
semata-mata karena mereka mendapat manfaat darinya. Semakin banyak keuntungan
materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini.
Korupsi
bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum
yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran
budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
5.2.SARAN
Berdasarkan
pendapat-pendapat para ahli, strategi pemberantasan korupsi yang dapat
ditawarkan oleh penulis adalah sebagai berikut :
Preventif
1. Pencegahan
diri dan keluarga dari tindakan korupsi
2. Keteladanan
Pemimpin
3. Perbaikan
gaji bagi para pejabat dan pegawai negeri
4. Budaya
politik yang transparan
5. Menumbuhkan
rasa memiliki
Upaya Pemulihan
1. Penyitaan
seluruh kekayaan koruptor.
2. Penegakan
hukum yang seadil-adilnya.
3. Hukum
di negara yang mengatur tentang korupsi harus lebih tegas dan berat agar
para-para koruptor jera dan tidak bisa melakukan kegiata korupsi lagi yang
merugikan semua pihak ini
4. Legalisasi
pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.
5. Perlu
penayangan wajah koruptor di televisi.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar