Kamis, 01 Januari 2015

JURNAL MORALITAS KORUPTOR



JURNAL MORALITAS KORUPTOR
TUGAS KE 4




EFLIN FEBRIANI
12211328
4EA17





ABSTRAK
Eflin Febriani. 4EA17. 12211328
Penulisan, Jurnal, Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Kata Kunci : Moral, Korupsi
(16 Hal)
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.” Korupsi merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa latin yaitucorruption yang berarti buruk atau rusak atau memutar balik atau menyogok. Korupsi yang sudah lama berjangkit di negeri tercinta ini, yang sudah menjadi penyakit kronis, berurat dan berakar dalam setiap sendi kehidupan kita, ternyata tidak datang begitu saja. Ia ada karena sudah mengalami proses belajar yang cukup lama. Telah banyak lembaga pengawasan yang dibentuk, namun korupsi juga kian menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat membandingkan semut dengan gajah. Ada dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat mementingkan diri dan ketamakan. Karena mementingkan diri, orang-orang yang korup tutup mata terhadap akibat perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang lain, dan mereka membenarkan korupsi semata-mata karena mereka mendapat manfaat darinya. Semakin banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”

Namun, banyak manusia yang menjadi tidak bermoral dan melakukan tindak kejahatan karena tuntutan hidup maupun sifat serakah. Salah satu tindak kejahatan yang kian melambung namanya dalam beberapa tahun terakhir adalah korupsi. Secara gampang, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan sendiri.
Korupsi bukanlah merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku berjudul Arthashastra.
Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi bisa dilakukan melalui berbagai jalur, ada yang melalui pinjaman dari Negara asing, sehingga semakin besar pinjaman asing semakin besar dana yang disalahgunakan, melalui perjalanan dinas, melalui pengadaan barang, pungutan pajak, pungutan liar, bahkan sampai dana untuk orang miskin dan bencana alam. Korupsi benar-benar merupakan perbuatan yang menghancurkan generasi muda dan memiskinkan rakyat Indonesia.
Kasus korupsi tampaknya sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia, terutama yang menduduki posisi pejabat Negara. Sejatinya, mereka mengayomi serta menjamin kesejahteraan rakyat. Namun, menjamin kesejahteraan diri dan keluarga tampaknya lebih menarik hai para pejabat sehingga tidak heran jika pemberitaan kasus korupsi terus menghiasi layar kaca.
Tindak korupsi yang ada di Indonesia saat ini sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis oleh pejabat Negara.
Korupsi bisa dikatakan sebagai hal yang tidak terlepaskan dari kehidupan bangsa Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari “prestasi” bangsa Indonesia dengan menduduki peringkat-peringkat atas negara terkorup di dunia dalam beberapa tahun belakangan ini. .

1.2.RUMUSAN MASALAH
Dalam penyusunan ini penulis membatasi menjadi beberapa sub pokok bahasan meliputi :
1.      Mengapa semakin marak korupsi yang ada di Indonesia dan mengapa bisa terjadi?
2.      Bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis?
3.      Siapa yang bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia?

1.3.BATASAN MASALAH
Dalam penulisan ini penulis membatasi masalah pada moralitas korupsi.

1.4.TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui mengapa semakin marak korupsi yang ada di Indonesia dan mengapa bisa terjadi
2.      Untuk mengetahui Bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis
3.      Untuk mengetahui Siapa yang bertanggung jawab akan adanya korupsi di Indonesia

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.Pengertian Moral
Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.

2.2.Moralitas Obyektif
Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai  kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.

2.3.Moralitas Subyektif
Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati.
Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani manusia!

2.4.Korupsi
Korupsi berdasarkan pemahaman pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.
Korupsi merupakan suatu istilah yang berasal dari bahasa latin yaitucorruption yang berarti buruk atau rusak atau memutar balik atau menyogok. Menurut Transparancy Indonesia korupsi diartikan sebagai perilaku pejabat publik, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dalam ensikopledia Indonesia disebut ”korupsi” (dari bahasa latin: corruption yang berarti penyuapan; corruptore berarti merusak) gejala dimana para pejabat, badan – badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Menurut Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan – tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan syah.
Menurut Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Dari segi semantik, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitucorrupt,yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitucomyang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagaisuatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karenaadanya suatu pemberian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi maupun orang lain.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
·         Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
·         Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
·         Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
·         Rendahnya  pendapatan penyelenggara Negara.  Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
·         Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi.  Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
·         Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
·         Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
·         Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi.  Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
·         Gagalnya pendidikan agama dan etika.  Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.  Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar dalam konteks kehidupan sosial dibandingkan institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya.  Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005)

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan Metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dari beberapa buku, referensi di internet dan jurnal yang mengkaji topik sejenis untuk mendukung penulisan tentang moralitas koruptor

BAB IV
PEMBAHASAN
Mengapa semakin marak korupsi yang ada di Indonesia dan mengapa bisa terjadi?
Indonesia memang dikenal sebagai juaranya korupsi di dunia. Sudah bertahun-tahun Indonesia berperingkat terbawah sebagai negara terkorup di dunia dan seakan tak ada prospek beranjak dari keburukan ini. Terakhir, Transparency International Indonesia merilis peringkat indeks korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2009 berada pada posisi 111. Ini memang sangat memiriskan. Bangsa yang besar ini dipandang sangat ‘kotor’ akibat korupsinya yang merajalela. Ibu Pertiwi pasti menangis jika melihat anak bangsa saat ini sebagai juara korupsi.
Lantas, banyak orang berpikir bahwa korupsi yang sudah sedemikian parah ini dihubungkan dengan masalah moral. Akar permasalahan utama korupsi di Indonesia adalah moralitas bangsa yang bobrok, korup dan ambruk. Benarkah demikian? Pantaslah kita untuk mendiskusikannya agar kita tidak serta merta memercayaistatement bahwa parahnya korupsi di Indonesia ini akibat moral bangsa yang buruk. Kita tidak boleh luruh hanya mengkambinghitamkan masalah moral sebagai penyebab suburnya korupsi di Indonesia
Sayangnya, begitu banyak terdengar upaya kampanye sederhana (soft campaigne), baik pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama tentang seruan serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi di Indonesia. Media yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga pamflet dan selebaran, yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”.
Upaya tersebut tidaklah salah, tetapi sangat berpotensi keliru memandang persoalan secara objektif dan komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah bisa saja upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup. Kita perlu memandang masalah moralitas ini sangat rawan untuk dipermainkan oleh pihak-pihak yang sebenarnya terlibat dalam korupsi. Bisa saja isu moralitas ini hanya sebagai upaya lempar batu sembunyi tangan.
Memandang korupsi sebagai masalah moral ini juga bisa menciptakan ketidakmampuan menguraikan jenis-jenis korupsi secara detail dan kegagalan menciptakan solusinya. Ada resistensi yang timbul karena rasa pesimistis berlebihan sebagai akibat kegagalan menguraikan kerumitan benang-benang korupsi. Ini karena masalah moral begitu luas dan cara penanganannya juga sangat luas. Jadi, tidak sekedar menangani penyebab dari satu aspek saja, lalu lantas masalah moral selesai dan korupsi pun punah.
Lantas, orang berpikir karena masalah moral maka yang harus dibenahi moral bangsa adalah lewat pendidikan yang bermoral. Ini jelas terlalu luas dan tidak langsung mengenai sasaran karena pendidikan lebih condong pada pembentukan karakter dasar. Dan, seringkali karakter itu takluk pada determinan lingkungan yang lebih mencerminkan kondisi yang sesuai pada realitas kekinian. Lingkungan mampu menciptakan pengaruh yang menjadikan orang yang dibentuk pendidikan larut dalam hegemoni lingkungan.
Menangani korupsi lewat pendidikan memang perlu, tetapi ini hanya pada proses penciptaan fundamental saja. Pendidikan yang menciptakan moralitas utama lebih disepakati sebagai upaya penanaman pondasi moral bahwa korupsi itu adalah tindakan laknat yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Sekaligus pendidikan moral ada untuk membangun benteng moral agar tidak terjebol oleh serangan biadab korupsi implisit maupun eksplisit. Namun demikian, moralitas yang dibentuk pendidikan tidak bisa digunakan sebagai tameng secara terus menerus untuk menghadang korupsi.
Masalah Sistem
Kita pasti hangat dengan ucapan Bang Napi dalam sebuah acara kriminal di salah satu stasiun televisi bahwa “Kejahatan tidak hanya terjadi karena dari niat pelakunya, tetapi karena adanya kesempatan”. Kalau diuraikan, dari pernyataan di atas asal korupsi adalah karena niat dan atau kesempatan. Secara sederhana, jika beracuan pada niat berarti yang menyebabkan korupsi adalah buruknya moralitas pelakunya. Sedangkan, jika merujuk pada kesempatan maka yang menciptakan korupsi adalah lingkungannya.
Untuk masalah moralitas sudah dijelaskan secara spesifik pada paragraf-paragraf sebelumnya. Adapun untuk keadaan lingkungan akan diterangkan saat ini dan seterusnya. Sejatinya, lingkungan memang sangat berkaitan dengan adanya sistem yang melingkupinya. Jikalau sistem yang ada itu buruk maka akan memungkinkan mencuat lingkungan yang buruk pula. Begitu pula, sebaliknya. Ada hubungan searah antara sistem dengan lingkungan.
Ketika kita mencermati kasus korupsi yang marak akhir-akhir ini, bisa dilihat bahwa sistem yang ada di birokrasi pemerintahan ‘kebobolan’ telak. Sistem mampu dikibuli oleh aparat-aparat yang ada di dalamnya maupun pihak-pihak luar yang ingin ‘mempermainkan’ sistem.
Kalau kita mendalami masalah sistem ini, praktik korupsi bukan sekedar pada tingkat pelaksanaan saja. Kita harus melihat dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan sistem, sebagaimana kerangka sederhana dari sistem itu sendiri. Kalau dari perencanaan, kita bisa melihat salah satunya dari peraturan perundang-undangan. Undang-undang dan peraturan pemerintah apakah bisa menjadi alat untuk mengembangbiakkan korupsi. Jika iya, berarti dari tahap perencanaan terhadap sebuah sistem saja sudah menabur benih tumbuhnya pohon korupsi.
Indonesia bisa terus menjadi juara korupsi, karena sistem-sistem buruk dan lemah yang ada terus-menerus distatus quo-kan. Reformasi birokrasi memang sudah jalan, tetapi itu belum masuk ke tataran mindset birokrat. Apa gunanya sistem yang bagus, tetapi tidak diresapi oleh para obyeknya? Inilah mengapa sistem saat ini tidak berjalan dengan bagus, baik dari perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan. Jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran korupsi yang mematikan, pembenahan sistem secara komprehensif perlu dilakukan. Dan, sistem itu pun kemudian harus dijunjung tinggi oleh semua obyeknya sampai ter-mindset-kan.


Bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis ?
Pengaruh yang paling dominan adalah persaingan yang  tidak sehat , ditambah kecurangan dengan melakukan korupsi otomatis memberikan dampak pada kegiatan bisnis yang terhambat bahkan bisa berhenti. Dengan orang melakukan korupsi berarti dia mengambil sejumlah uang atau asset tertentu yang bahkan bukan milik dia yang tidak lain mengurangi asset bisnis tersebut. Dengan korupsi yang dilakukan terus menerus pada kegiatan bisnis ini dalam jangka panjang memerikan ke bangkrutan.
Akibat – akibat korupsi adalah :
1.      Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2.      Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3.      Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan Negara dan merusak sendi – sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.

Korupsi..siapa yang bertanggung jawab?
Korupsi yang sudah lama berjangkit di negeri tercinta ini, yang sudah menjadi penyakit kronis, berurat dan berakar dalam setiap sendi kehidupan kita, ternyata tidak datang begitu saja. Ia ada karena sudah mengalami proses belajar yang cukup lama.
Telah banyak lembaga pengawasan yang dibentuk, namun korupsi juga kian menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat membandingkan semut dengan gajah.
Lantas, siapa yang harus bertanggungjawab memberantas korupsi?
Percaya atau tidak, korupsi itu adalah hasil belajar seseorang dan kemudian diajarkannya lagi kepada orang lain. Begitu seterusnya sehingga korupsi ada dimanamana. Faktor utama perbuatan korupsi adalah manusia. Kwik Kian Gie pernah mengatakan seluruh upaya pemberantasan korupsi yang dibuat akan percuma, tidak akan efektif sama sekali jika factor manusianya dikesampingkan, jika tidak ada program yang berfokus pada perbaikan manusianya sendiri.
Manusia disamping sebagai makhluk individu adalah juga makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai cipta, rasa, dan karsa dan menampilkan diri sebagai pribadi. Sebagai makhluk sosial, manusia memelihara dan mengembangkan eksistensinya dengan berinteraksi dengan manusia lainnya dalam bentuk hidup bermasyarakat.
Orang bijak pernah berkata bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci, putih bersih. Maka lingkungan lah yang akan membentuk kepribadiannya, menentukan jati dirinya. Apakah dia nantinya akan menjadi orang baik, yang akan banyak memberi manfaat bagi diri dan lingkungannya, atau sebaliknya dia akan menjadi orang jahat dan membawa kesengsaraan bagi orang lain. Semua itu ditentukan oleh pengaruh dari lingkungan dimana dia hidup bermasyarakat. Salah satu teori penyebab terjadinya suatu tindak kejahatan adalah " bahwa perilaku kriminal akan timbul manakala manusia menyerap informasi, pandangan, dan motivasi dari orang-orang dekat disekitarnya" (sebagaiman dimuat dalam Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Manual section Criminology, yaitu Social Learning Theory). Para ahli penganut teori ini percaya bahwa setiap orang berpotensi untuk melakukan tindak kejahatan jika selalu dihadapkan pada persoalan kriminal.
Jadi, jika seseorang dilahirkan dengan lingkungan yang permisif terhadap tindakan kriminal akan mendorong dirinya untuk berbuat yang serupa. Bila manusia dibesarkan dalam lingkungan yang sudah terbiasa dengan perbuatan yang cenderung menyimpang, yang menganggap memberi uang pelicin agar urusannya lancar adalah biasa, lingkungan yang berpandangan bahwa menerima hadiah atau pemberian yang berkaitan dengan tugasnya adalah wajar bahkan suatu keharusan, lingkungan yang terbiasa me -mark up kuitansi pengeluaran agar bias diambil selisihnya untuk keuntungannya, maka orang tersebut akan terdorong untuk melakukan perbuatan menyimpang tersebut.
Demikian juga dengan korupsi. Mungkin pada awalnya hanya coba -coba, kecil-kecilan. Misalnya, seorang pimpinan proyek yang karena gajinya kecil, terdesak oleh kebutuhan pokok, dan karena melihat rekan-rekan sejawatnya yang melakukan itu aman-aman saja, maka dia mencoba berkolusi dengan kontraktor pemenang tender untuk menggelembungkan nilai kontrak di atas harga yang wajar untuk dia ambil dan dibagi-bagi selisih harganya tadi. Dia berhasil pada kali yang pertama dan berniat untuk berhenti korupsi karena kebutuhan mendesaknya sudah terpenuhi. Namun hal itu tidak dapat dia lakukan karena jika dia berhenti pada kali yang kedua, maka perbuatan jeleknya terdahulu akan terbongkar, oleh karenanya dia kemudian mempelajari bagaimana cara agar tidak ketahuan, bertanya ke kanan-kiri. Demikian seterusnya sampai akhirnya menjadi kebiasaan dan ketagihan untuk berbuat serupa, bahkan mengembangkan modusnya agar benar-benar tidak akan pernah terdeteksi.
Dengan cara demikianlah korupsi berkembang di negeri ini. Awalnya tidak tahu, kemudian tahu karena terjun ke lingkungan yang memberinya informasi dan pengalaman tentang perbuatan korupsi, sampai akhirnya tergoda untuk melakukannya. Semua itu melalui proses yang namanya belajar.
Dengan demikian, cara memerangi yang paling efektif pun harus melalui proses pembelajaran kembali kepada masyarakat, individu, dan publik. Harus ditanamkan sikap dan pengertian bahwa perbuatan korupsi adalah perbuatan yang sangat jahat, the root of all evils, korupsi adalah sumber dari segala permasalahan yang mencuat dalam segala bidang.
Jika seseorang sudah memahami apalagi merasakan akibat jelek dari perbuatan korupsi, maka akan timbul kecenderungan berkurangnya perbuatan korupsi. Disinilah letak pentingnya dijatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku korupsi.
Contoh Kasus Korupsi :
1.      KPK Beri Isyarat Ratu Atut Terseret Kasus Korupsi.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas memberi sinyal terseretnya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam kasus dugaan korupsi. Meskipun tak menyebut secara gamblang kasus yang dimaksud, tapi menurut Busyro, Atut bisa jadi merupakan kepala daerah yang bisa diminta pertanggungjawaban.
“Ya, benar begitu, seperti Tangerang Selatan,” kata Busyro di gedung kantornya, Senin, 18 November 2013. Sebelum bicara soal Atut, Busyro terlebih dahulu bicara soal adik ipar Atut yang juga Wali Kota Tangerang Selatan dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Kota Tangsel. (Baca: Pelapor Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh)

Menurut Busyro, saat ini dalam kasus alkes Tangsel, penyelenggara negara yang ditetapkan sebagai tersangka baru pada tingkat pejabat pembuat komitmen. “Cara kerja KPK, semua dimulai dari bawah, minggir-minggir-minggir, langsung nabrak ke atas,” kata Busyro. Busyro memberi contoh, dalam kasus dugaan korupsi PON Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal bukan orang yang pertama ditetapkan menjadi tersangka. Dalam kasus travel cheque, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom kena belakangan. “Itu memang karakter kerja KPK. Tunggu saja, kami sedang mengumpulkan bukti,” kata dia.

Terhitung 11 November 2013, KPK menetapkan tiga orang dalam kasus alkes Tangsel. Ketiganya adalah pejabat pembuat komitmen Mamak Jamaksari, petinggi PT Mikkindo Adiguna Pratama Dadang Prijatna, dan Chaeri Wardana alias Wawan, yang merupakan suami Airin.

2.      Ini alasan KPK panggil Dirut Pertamina di kasus suap SKK Migas
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan pihaknya memang tengah mendalami peran PT Pertamina dalam kasus dugaan suap di lingkungan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Setelah beberapa waktu lalu KPK memanggil Direktur Utama Karen G Agustiawan untuk diperiksa sebagai saksi.

“Jadi memang kami mempelajari keterlibatan Pertamina dalam penjualan, pelelangan, tender di SKK Migas,” ujar Busyro, di KPK, Senin (18/11) malam.

Menurut Busyro, nama Karen muncul setelah pemeriksaan sejumlah saksi dan tersangka. Dalam pengembangannya, Karen baru disebut-sebut belakangan ini dari keterangan dan pemeriksaan kasus ini.

“Dia kan muncul dalam perkembangan,” imbuhnya.

Namun, Busyro belum berani memastikan apakah Karen akan menjadi tersangka berikutnya. Karena Karen masih baru menjalani pemeriksaan sebagai saksi dan dua kali dipanggil KPK.

“Karen ini kan baru diperiksa kemarin,” jelasnya.

Dalam dakwaan Simon Gunawan Tanjaya terungkap, 28 Mei 2013 PT Pertamina mengikuti rapat bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas dan SKK Migas. Rapat itu disimpulkan, Kondensat Senipah bagian negara dengan volume 300 ribu barel tidak dapat diolah Kilang Pertamina. Sebab, adanya keterbatasan penyerapan kilang atas volume Kondensat Senipah yang tersedia. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan pendapatan negara, maka rapat memutuskan dilakukan lelang terhadap Kondensat Senipah itu. Hal itu dilakukan untuk mendapat penawaran terbaik. Dalam dakwaan Simon juga terungkap Kernel Oil menyuap buat mendapat jatah Kondensat Senipah. PT Pertamina juga diketahui pernah bekerja sama dengan PT Parna Raya Group dalam pengadaan BBM bersubsidi untuk nelayan. Komisaris PT Parna Raya Artha Meris Simbolon sendiri, saat ini pun telah dicegah KPK.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.KESIMPULAN
Korupsi bertumbuh sangat subur dan rumit sehingga siap meruntuhkan setiap struktur masyarakat. Di beberapa negeri, apa saja diselesaikan dengan pelicin. Suap yang diberikan kepada orang yang tepat memungkinkan seseorang lulus ujian, mendapatkan SIM, memperoleh tender, atau memenangkan perkara hukum.
Ada dua hal yang membuat korupsi terus ada: sifat mementingkan diri dan ketamakan. Karena mementingkan diri, orang-orang yang korup tutup mata terhadap akibat perbuatannya, yaitu penderitaan atas orang lain, dan mereka membenarkan korupsi semata-mata karena mereka mendapat manfaat darinya. Semakin banyak keuntungan materi yang mereka timbun, semakin tamaklah para koruptor ini.
Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).

5.2.SARAN
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli, strategi pemberantasan korupsi yang dapat ditawarkan oleh penulis adalah sebagai berikut :

Preventif
1.      Pencegahan diri dan keluarga dari tindakan korupsi
2.      Keteladanan Pemimpin
3.      Perbaikan gaji bagi para pejabat dan pegawai negeri
4.      Budaya politik yang transparan
5.      Menumbuhkan rasa memiliki
Upaya Pemulihan
1.      Penyitaan seluruh kekayaan koruptor.
2.      Penegakan hukum yang seadil-adilnya.
3.      Hukum di negara yang mengatur tentang korupsi harus lebih tegas dan berat agar para-para koruptor jera dan tidak bisa melakukan kegiata korupsi lagi yang merugikan semua pihak ini
4.      Legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.
5.      Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.

DAFTAR PUSTAKA





Tidak ada komentar:

Posting Komentar