JURNAL IKLAN DALAM ETIKA DAN ESTETIKA
TUGAS KE 3
EFLIN FEBRIANI
12211328
4EA17
ABSTRAK
Eflin Febriani. 4EA17. 12211328
Penulisan, Jurnal, Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi,
Universitas Gunadarma, 2014
(15 Hal)
Sesuai dengan fungsinya baik secara mikro dan makro, sebuah bisnis yang baik harus memiliki etika dan tanggung jawab sosial. Hal yang menjadi sorotan dalam periklanan adalah sejauh mana komitmen moral atau etika bisnis yang dimiliki perusahaan dalam mempertanggungjawabkan materi atau isi pesan yang disampaikan kepada masyarakat. Kata Iklan sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang artinya adalah upaya menggiring orang pada gagasan. Adapun pengertian secara komprehensif atau luas adalah semua bentuk aktifitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang ataupun jasa secara nonpersonal melalui media yang dibayar oleh sponsor tertentu Etika disusun berdasarkan tata budaya ada disuatu bangsa. Melakukan apa saja untuk mendapatkan keuntungan pada dasarnya boleh dilakukan asal tidak merugikan pihak mana pun dan tentu saja pada jalurnya. Dengan demikian seharusnya justru etika dipandang dengan sangat positif sebagai suatu panduan untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak akan diterima dengan baik oleh masyarakat (konsumen).
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR
BELAKANG
Sesuai
dengan fungsinya baik secara mikro dan makro, sebuah bisnis yang baik harus
memiliki etika dan tanggung jawab sosial. Persaingan dalam dunia bisnis yang
kian ketat, berbagai perusahaan berlomba-lomba berkreasi se-kreatif mungkin
untuk membuat program marketingnya termasuk pengolahan ide iklan. Seperti di
televisi, berbagai iklan diputar di sela-sela tayangan program televisi
tersebut. Bila iklan tidak dibuat semenarik mungkin, maka orang akan lebih memilih
untuk mengganti channel televisi daripada melihat iklannya. Berdasar
dari insight itulah, berbagai pembuat iklan selalu berusaha membuat
iklan yang unik, berbeda dan menarik.
Didunia
usaha khususnya perusahaan, secara kondisional iklan di maksudkan untuk
memperkenalkan suatu produk kepada konsumen. Karena iklan itu harus dibuat
semenarik mungkin dan sedramatis mungkin sehingga mau tidak mau konsumen akan
tertarik untuk memperhatikannya.
Hal
yang menjadi sorotan dalam periklanan adalah sejauh mana komitmen moral atau
etika bisnis yang dimiliki perusahaan dalam mempertanggungjawabkan materi atau
isi pesan yang disampaikan kepada masyarakat. Etika bisnis dalam
mengkampanyekan produk kepada masyarakat memang penting dipahami oleh pihak
produsen. Hal ini agar masyarakat tidak merasa tertipu oleh sajian – sajian
iklan dan masyarakat mendapat informasi yang sebenarnya dari produk yang
diiklankan.
Unik
dan menarik-nya sebuah iklan bisa menimbulkan kontroversi apabila tidak mengacu
pada kaidah etika. Selayaknya pembuatan konsep kreatif sebuah iklan mengacu
pada ciri iklan yang baik yaitu:
1.
Etis: berkaitan dengan kepantasan.
2.
Estetis: berkaitan dengan kelayakan
(target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan?).
3.
Artistik: bernilai seni sehingga
mengundang daya tarik khalayak.
4.
Jujur : tidak memuat konten yang tidak
sesuai dengan kondisi produk yang diiklankan
5.
Tidak memicu konflik SARA
6.
Tidak mengandung pornografi
7.
Tidak bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku.
8.
Tidak melanggar etika bisnis, ex: saling
menjatuhkan produk tertentu dan sebagainya.
9.
Tidak plagiat
1.2.RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka rumusan masalah pada penulisan ini adalah.
1.
Sejarah Etika Periklanan Di Indonesia
2.
Keuntungan dan Kerugian Iklan
3.
Beberapa Prinsip Moral yang Perlu Dalam
Iklan
1.3.BATASAN
MASALAH
Dalam penulisan ini penulis membatasi masalah pada iklan dalam etika dan
estetika
1.4.TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk mengetahui Sejarah Etika
Periklanan Di Indonesia
2.
Untuk mengetahui Keuntungan dan Kerugian
Iklan
3.
Untuk mengetahui Beberapa Prinsip Moral
yang Perlu Dalam Iklan
BAB II
LANDASAN TEORI
Etika adalah
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (KBBI).
Estetika adalah
Berkaitan dengan keindahan, seni. Selain etis, estetis iklan juga harus
mengandung daya tarik seni, estetika. Agar iklan itu menarik,
dan tidak membosankan selain itu iklan dengan estetika yang baik, juga akan
mengundang daya tarik masyarakat (desire) untuk memperhatikan iklan tersebut
dan kemudian melakukan action membeli dan menggunakan produk tersebut.
Etis adalah
berkaitan dengan kepantasan, Apakah iklan itu pantas untuk ditayangkan? secara
etika memang iklan haruslah memuat sesuatu yang jujur tapi bukan
berarti lalai dengan ke-etis-an iklan tersebut.
Estetis adalah
berkaitan dengan kelayakan, kepada siapa iklan itu ditujukan siapa target
marketnya, siapa target audiennya, kapan iklan terebut harus ditayangkan.
Produsen rokok selalu menayangkan iklannya pada waktu-waktu dimana anak kecil
sudah tidur. Memang harus demikian, karena iklan itu hanya ditujukan untuk
orang dewasa.
Menurut
Thomas M. Garrey, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya
pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud
menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang
diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif
terhadap idea – idea, institusi – institusi atau pribadi – pribadi yang
terlibat di dalam iklan tersebut.
Iklan
merupakan sebuah proses komunikasi yang bertujuan untuk membujuk orang untuk
mengambil tindakan yang menguntungkan bagi pihak pembuat iklan. Iklan ditujukan
untuk mempengaruhi perasaan, pengetahuan, makna, kepercayaan, sikap, pendapat,
pemikiran dan citra konsumen yang berkaitan dengan suatu produk atau merek,
tujuan periklanan ini bermuara pada upaya untuk dapat mempengaruhi perilaku
konsumen dalam membeli sebuah produk yang ditawarkan.
Kata
Iklan sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang artinya adalah upaya
menggiring orang pada gagasan. Adapun pengertian secara komprehensif atau luas
adalah semua bentuk aktifitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang
ataupun jasa secara nonpersonal melalui media yang dibayar oleh sponsor
tertentu. (Durianto, dkk, 2003).
Menurut
pakar periklanan dari Amerika, S. William Pattis (1993) iklan adalah
setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk memotivasi dan mempromosikan
produk dan jasa kepada seseorang atau pembeli yang potensial. Tujuannya adalah
mempengaruhi calon konsumen untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan
keinginan si pemasang iklan.
Menurut
Roman, Maas & Nisenholtz. 2005, Pengertian lainnya, iklan adalah seni
menyampaikan apa yang ditawarkan atau dijual untuk mendapatkan perhatian dan
menempatkan produk secara unik kedalam pikiran konsumen dengan alat bantu.
Menurut
Britt, iklan sejak semula tidak bertujuan memperbudak manusia untuk tergantung
pada setuap barang dan jasa yang ditawarkan, tetapi justru menjadi tuan atas
diri serta uangnya, yang dengan bebas menentukan untuk membeli, menunda atau
menolak sama sekali barang dan jasa yang ditawarkan.
Pengertian
antara iklan dan periklanan mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya
adalah bahwa keduanya merupakan pesan yang ditujukan kepada khalayak.
Perbedaannya yaitu iklan lebih cenderung kepada produk atau merupakan hasil
dari periklanan, sedangkan periklanan merupakan keseluruhan proses yang
meliputi penyiapan, perencanaan pelaksanaan, dan pengawasan penyampaian iklan.
Iklan
merupakan bagian dari bauran promosi (promotion mix) sedangkan bauran promosi
adalah bagian dari bauran pemasaran (marketing mix) dimana marketing mix
meliputi product, price, place, promotion.
Sebagai
kekuatan utama ekonomi, iklan justru menjadi sarana yang efektif bagi produsen
untuk menstabilkan atau terus meningkatkan penawaran barang dan jasa. Sementara
konsumen dengan sendirinya juga membutuhkan iklan, terutama ketika mereka hidup
dalam sebuah masyarakat yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang sangat
cepat, sebuah masyarakat konsumtif dengan tingkat permintaan akan barang dan
jasa yang yerus meningkat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk
memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan Metode
pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dari
beberapa buku, referensi di internet dan jurnal yang mengkaji topik sejenis
untuk mendukung penulisan tentang iklan dalam etika dan estetika
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1.
Sejarah
Etika Periklanan Di Indonesia
4.1.1.
Sejarah
Periklanan
Secara
mendasar, upaya periklanan telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Banyak
penemuan-penemuan purbakala yang mengungkapkan adanya bukti kegiatan promosi
dan periklanan sejak jaman dahulu, walaupun masih dilakukan dalam bentuk yang
sangat sederhana. Sejarah periklanan telah dimulai ribuan tahun lalu, ketika
bangsa-bangsa di dunia mulai melakukan pertukaran barang. Wright (dalam
Liliweri, 1992) mencatat bahwa kira-kira 3000 tahun sebelum Masehi, bangsa
Mesopotamia dan Babilonia telah meletakkan dasar-dasar periklanan seperti yang
terlihat sekarang ini. Pada jaman itu, pedagang-pedagang menyewa perahu-perahu
dan menyuruh pedagang keliling mengantarkan hasil produksi ke konsumen yang
tinggal di pedalaman dengan menggunakan teknik pemasaran door to door.
Pada jaman Yunani dan Romawi, teknik beriklan mengalami perkembangan . Pada
jaman ini telah dikenal perdagangan antarkota dimana iklan pada terekota dan
perkamen sudah mulai digunakan untuk kepentingan Lost & Found (Kasali,
1995). Pada masa inilah mulai disadari pentingnya menggunakan medium untuk
menyampaikan informasi. Para pemilik usaha menggunakan pahatan di
dinding-dinding kota untuk memberitahu orang banyak bahwa mereka mempunyai
dagangan tertentu. Pada zaman Caesar, banyak toko di kota-kota besar yang telah
mulai memakai tanda dan symbol atau papan nama sebagai media utama dalam
beriklan.
Periklanan
memasuki babak sejarah yang sangat penting ketika kertas ditemukan pada tahun
1215 di Cina dan mesin cetak diciptakan Johann Gutenberg pada tahun
1450. Sejak itu medium-medium kuno ditinggalkan. Orang beralih ke pamphlet atau
selebaran-selebaran untuk menginformasikan atau menjual sesuatu. Selebaran dan
pamflet inilah yang menjadi cikal bakal munculnya surat kabar, sebuah medium
klasik yang sampai sekarang tetap menjadi pilihan pengiklan sebagai medium
utama.Periklanan mengalami perkembangan yang luar biasa cepat seiring dengan
tumbuhnya era industri. Populasi penduduk dunia meningkat, industri-industri
baru tumbuh dan iklan menempati posisi yang penting untuk mendorong penjualan.
Sampai abad 19, belum ada perusahaan periklanan (advertising agency) baik di
Eropa maupun di Amerika. Jadi, siapapun yang ingin mengiklankan sesuatu harus
berhubungan dengan surat kabar. Sekitar tahun 1800-an, kerumitan dan kesulitan
diantara pengiklan dan surat kabar mulai berkembang. Para pengiklan merasakan
kebutuhan untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, bukan hanya masyarakat
yang tinggal satu kota dengannya saja – sebagaimana distribusi surat kabar pada
masa itu. Perkembangan itulah yang melahirkan kebutuhan perlunya penghubung
antara surat kabar dengan pengiklan. Hower mencatat dua nama pertama yang
bertindak sebagai advertising agent, yaitu Volney B. Palmer di Philadelphia dan
John Hooper di New York. Oleh orang-orang sesudah mereka, bisnis tersebut
dikembangkan ke dalam sebuah institusi yang disebut advertising agency.
Karena
memiliki tanggung jawab moral dan interaksi yang cukup banyak dengan beragam
segmen, para praktisi periklanan di sekitar abad 19 mulai meletakkan standar-standar
periklanan yang lebih baik. Sebagai contoh, FW Ayer & Son yang didirikan di
Philadelphia menjadi advertising agency tertua yang memberi tatanan modern pada
bisnis periklanan. Agency yang didirikan Francis Wayland Ayer ini memperbaiki
teknik-teknik periklanan dan memajukan standar layanan sebuah agency, termasuk
mengembangkan prinsip-prinsip etika bagi sebuah bisnis yang sukses.
Beberapa
standar penting yang berlaku saat ini merupakan ‘peninggalan’ para praktisi
periklanan di abad 19 maupun awal-awal abad 20, seperti besarnya persentase
komisi bagi agency sebesar 15% yang berlaku pada tahun 1917 maupun pembagian
aktifitas perusahaan periklanan ke dalam 3 bidang dasar yaitu: account,
creative dan media.
4.1.2.
Perkembangan
Periklanan di Indonesia
Perkembangan
periklanan di Indonesia telah ada sejak lebih dari se abad yang lalu. Iklan
yang diciptakan dan dimuat di surat kabar telah ditemukan di surat kabar
“Tjahaja Sijang” yang terbit di Manado pada tahun 1869. Surat kabar tersebut
terbit sebulan sekali setebal 8 halaman dengan 4 halaman ekstra. Iklan-iklan
yang tercantum di surat kabar tersebut bukan hanya dari perusahaan / produsen,
tetapi juga dari individu yang mencantumkan iklan untuk kepentingan pribadi.
Di
tempat lain juga telah ada kegiatan periklanan melalui surat kabar, yaitu di
Semarang pada tahun 1864. Surat kabar “De Locomotief yang beredar setiap hari
telah memuat iklan hotel / penginapan di kota Paris. Iklan di kedua surat kabar
ini masih didominasi oleh tulisan dan belum bergambar, karena kesulitan teknis
cetak pada saat itu.Dalam perkembangannya, setiap surat kabar yang terbit
kemudian, juga mencantumkan iklan sebagai sarana memperoleh penghasilan guna
membiayai ongkos cetaknya.
4.1.3.
Fungsi
Periklanan
Periklanan
dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi
pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada
iklan yang semata-mata persuasif.
4.2.
Keuntungan
dan Kerugian Iklan
Mengikuti
dokumen yang dikeluarkan oleh komisi kepausan bidang komunikasi sosial mengenai
etika dalam iklan, paling kurang ada empat keuntungan dan ketugian
yang bisa diperoleh dari iklan, yakni keuntungan dan kerugian di dalam bidang
ekonomi, politik,kultural dan agama, serta moral. Keempat hal tersebut akan
dideskripsikan berikut :
1.
Bidang ekonomi
Dalam kerangka tindakan ekonomi
secara luas, iklan merupakan sebuah jaringan kerja yang amat kompleks karena
melibatkan produsen (pemasang iklan), pembuat iklan (advertiser), agen-agen,
media iklan, para peneliti pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri. Maka
keuntungan-keuntungan maupun kerugian-kerugian di bidang ekonomi juga
berpengaruh secara langsung terhadap para pelaku ekonomi itu.
Iklan ternyata memampukan
perusahaan-perusahaan untuk bisa menjual lebih banyak dan efektif produk-produknya.
Keuntungan maksimal lalu menjadi semacam finalitas yang mau direalisir.
Sementara bagi masyarakat konsumen, iklan bisa menyediakan informasi mengenai
bagaimana dan di mana kebutuhan-kebutuhan akan badang dan jasa bisa terpenuhi
secara lebih mudah dan efisien.
Maka sebagaimana juga disinyalir
oleh A. Sonny Keraf tidak mengherankan jika kemudian muncul kesan
bahwa iklan menampilkan citra bisnis sebagai “kegiatan menipu dan memperdaya
konsumen untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.” Dan sebagaimana juga
dikritik oleh Sri Paus Yohanes Paulus II, iklan lebih serinbg ditampilkan
sebagai media pembentuk masyarkat konsumenristis yang preokupasi utamanya
adalah menumpuk barang dan jasa sebanyak mungkin (to have), dan bukannya
memanfaatkan barang dan jasa yng sungguh-sungguh dibutuhkan untuk merealisir
eksistensi dirinya (to be). Di sini kemudian digarisbawahi bahwa iklan
memang bisa meningkatkan standar hidup konsumen.
2.
Bidang Politis
Seringkali juga media assa
menampilkan atau menayangkan iklan-iklan politik. Ini bisa menguntungkan semua
pihak sejauh tidak dipakai semata-mata demi kepentingan tiranis pihak
penguasa, tetapi sebagai ekspresi daru sebuah kehidupan politik yang
demokratis. Artinya, dengan iklan politik, masyarakat tidak hanya mendapatkan
informasi perihal segala kebiakan yang tengah dn akan diambil pemerintah,
tetapi juga sebagai konsekuensi semakin meningkatnya partisipasi masyarakat
dalam kehidupan politik, yakni dalam menentukan pilihan-pilihan politisnya.
3.
Bidang Kultural
Secara ideal harus dikatakan bahwa
iklan semestinya dikemas sebegitu rupa supaya tidak hanya bernilai secara
moral, tetapi juga intelektual dan estetis. Selain itu, para pemasang iklan
juga mesti mempertimbangkan kebudayaan dari masyarakat yang menjadi “sasaran”
iklan. Prinsip umum yang dianut adalah bahwa masyarakat harus selalu
diuntungkan secara kultural. Hal ini hanya bisa terwujud kalau isi iklan bukan
merupakan cerminan dari kehidupan glamor kelompok kecil masyarakat kaya atau
pun masyarakat dunia pertama yang wajib diimitasi secara niscaya oleh mayoritas
masyarakat miskin atau pun masyarakat dunia ketiga, tetapi merupakan cerminan
dan dinamisme kehidupan masyarakat miskin itu sendiri, karena iklan
menginformasikan barang dan jasa yang sungguh-sungguh mereka
butuhkan, dan itu berarti sesuai dengan stadar hidup mereka. Prinsip yang
secara etis dipegang teguh adalah bahwa iklan tidak harus pertama-tama
menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru, atau mengekspos pola kehidupan baru yang
malah mengasingkan masyarakat dari kebudayaannya sendiri.
Dalam kenyataannya, iklan lebih
sering menampilkan kebudayaan hidup masyarakat yang lebih suka menonjolkan
kompetisi di segala bidang kehidupan seraya membuang jauh-jauh rasa solidaritas
antarsesama. Iklan juga seringkali meremehkan unsur-unsur edukatif, standar
moral serta seni yang tinggi. Bahkan boleh dikatakan bahwa sebagaian besar
iklan menampilkan warna dominasi kaum lelaki atas kaum perempuan.
4.
Bidang Moral dan Agama
Ajaran-ajaran moral dan agama juga
sering kali disampaikan lewat iklan. Ajaran-ajaran moral dan agama tersebut
kepatuhan kepada kehendak Yang Ilahi, toleransi, belaskasihan, pelayanan dan
conta kasih kepada sesama yang lebih membutuhkan pertolongan, pesan-pesan
mengenai kesehatan dan pendidikan, dll bertujuan untuk memotivasi masyarakat ke
arh kehidupan yang baik dan membahagiakan.
Maka sebenarnya yang perlu diusahakan
bukannya meniadakan iklan, tetapi meniadakan isi atau maksud dari iklan yang
obsesi utamanya adalah mengkonstruksi sebuah masyarakat konsumtif dengan
seluruh konsekuensi yang menyertainya. Kalau kita setuju dengan analisis Dr.
Gregory Baum, bahwa media massa dan iklan cendrung mengkonstruksi realitas dan
bahwa realitas tersebut umumnya bersifat konsumtif-materialistis yang
sungguh-sungguh mensugesti manusia untuk secara niscaya menanggapinya, maka
bahaya pengrusakan lingkungan karena mentalitas hidup konsumtif sungguh-sungguh
serius. Sama seperti yang ditegaskan dokumen kepausan mengenai etika dalam
iklan, komitmen untuk mencegah upaya pengrusakan lingkungan ada pada mereka
yang berkehendak baik, yang mau mengusahakan sebuah kehidupan bersama yang utuh
dan integral, baik antara manusia maupun dengan lingkungan tempat kediamannya.
4.3.
Beberapa
Prinsip Moral yang Perlu Dalam Iklan
Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang
bisa dikemukakan di sini sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam
iklan.
Ketiga
prinsip itu adalah :
1.
Masalah kejujuran dalam iklan,
2.
Masalah martabat manusia sebagai
pribadi, dan
3.
Tanggung jawab sosial yang mesti diemban
oleh iklan.
Ketiga
prinsip moral yang juga digaris bawahi oleh dokumen yang dikeluarkan dewan
kepuasan bidang komunikasi sosial untuk masalah etika dalam iklan ini kemudian
akan didialogkan dengan pandangan Thomas M. Gerrett, SJ yang secara
khusus menggagas prinsip-prinsip etika dalam mempengaruhi massa (bagi
iklan) dan prinsip-prinsip etis konsumsi (bagi konsumen). Dengan demikian,
uraian berikut ini akan merupakan “perkawinan” antara kedua pemikiran tersebut.
·
Prinsip Kejujuran
Prinsip ini berhubungan dengan
kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan, sehingga
bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan
baru. Maka yang ditekankan di sini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan
haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang
dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis, adalah
upaya manipulasi dengan motif apa pun juga.
·
Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi
Bahwa iklan semestinya menghormati
martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam
tuntutn imperatif (imperative requirement). Iklan semestinya menghormati hak
dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara bertanggung jawab barang
dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi kebebasan yang
justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai pribadi.
Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang
seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi
kebutuhannya atau tidak.
Yang banyak kali terjadi adalah
manusia seakan-akan dideterminir untuk memilih barang dan jasa yang diiklankan,
hal yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah keniscayaan pilihan. Keadaan ini
bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa sehingga
menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu” untuk
memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki
barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat, dll.
·
Iklan dan Tanggung Jawab Sosial
Meskipun sudah dikritik di atas, bahwa
iklan harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena perananya yang utama
selaku media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan
manusia, namun dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan
konsumsi masyarakat. Artinya bahwa karena iklan manusia “menumpuk” barang dan
jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer.
Penumpukan barang dan jasa pada orang atau golongan masyarkat tertentu ini
disebut sebagai surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan. Menyedihkan bahwa
surplus ini hanya dialami oleh sebagai kecil masyarakat. Bahwa sebagian kecil
masyarakat ini, meskipun sudah hidup dalam kelimpahan, toh terus memperluas
batasa kebutuhan dasarnya, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam
kemiskinan.
Di sinilah kemudian dikembangkan ide
solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial dari iklan.
Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan manusia, dua hal
berikut pantas dipraktekkan. Pertama, surplus barang dan jasa seharusnya
disumbangkan sebagai derma kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial
yang berkarya untuk kebaikan masyarakat pada umumnya (gereja, mesjid, rumah
sakit, sekolah, panti asuhan, dll). Tindakan karitatif semacam ini dilakukan
dengan pertimbangan bahwa kehidupan cultural masyarakat akan semakin
berkembang. Kedua, menghidupi secara seimbang pemenuhan kebutuhan fisik,
biologis, psikologis, dan spiritual dengan perhatian akan kebutuhan masyarakat
pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat
kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan
utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat.
4.4.
CONTOH
IKLAN TIDAK BERETIKA
Iklan : Iklan Lampu merk Shinyoku yang diperankan oleh Romy Rafael.
Target :
Masyarakat menengah ke bawah
Pelanggaran
Untuk iklan lampu merk Shinyoku versi Romy
Rafael pelanggaran EPI yang ditemukan adalah penayangan pernyataan superlatif
di dalam iklan tersebut berupa pernyataan : “paling terang, paling hemat, dan
paling kuat.” Pernyataan superlatif di dalam iklan melanggar EPI BAB IIIA No.
1.2.2 yang menyatakan bahwa: ” Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata
superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, “top, atau kata-kata berawalan “ter”
dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut
yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dan otoritas terkait
atau sumber yang otentik.” KPI Pusat juga mengingatkan kepada para pembuat
iklan dan televisi bahwa dalam Pasal 49 ayat (1) Standar Program Siaran (SPS)
KPI Tahun 2009 telah dinyatakan bahwa iklan wajib berpedoman kepada EPI.
Selanjutnya KPI Pusat meminta kepada semua stasiun TV untuk mematuhi Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) Tahun 2009 dan EPI.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
KESIMPULAN
Dalam
periklanan kita tidak dapat lepas dari etika. Dimana di dalam iklan itu
sendiri mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat
Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan.
Iklan mempunyai unsur promosi, merayu konsumen, iklan ingin mengiming-imingi
calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika sendiri.
Etika
bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk
membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta
mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan
suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis ,
organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya
perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten
dan konsekuen.
5.2.
SARAN
Etika
disusun berdasarkan tata budaya ada disuatu bangsa. Melakukan apa saja untuk
mendapatkan keuntungan pada dasarnya boleh dilakukan asal tidak merugikan pihak
mana pun dan tentu saja pada jalurnya. Dengan demikian seharusnya justru
etika dipandang dengan sangat positif sebagai suatu panduan untuk tidak
melakukan hal-hal yang tidak akan diterima dengan baik oleh masyarakat
(konsumen). Untuk itu, sebisa mungkin pelaku bisnis dalam mengiklankan
produknya harus mengikuti kaidah-kaidah yang ada agar konsumen tidak kecewa
nantinya, karena jika konsumen kecewa maka akan berdampak pada penjualan produk
itu sendiri yang akhirnya malah merugikan pelaku bisnis itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Keraf,
Sonny A., Etika Bisnis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1991.
Dokumen
Komisi Kepausan bidang Komunikasi Sosial tentang Etika dalam Iklan. Dikutip dari L’Osservatore
Romano N. 16, 16 April 1997.
Garrett,
Thomas M., SJ, Some Ethical Problems
of Modern Advertising, The Gregoriana Univ. Press, Rome, 1961.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar